Detik-Detik Alhambra Granada Andalus Lepas Dari Genggaman Islam





529 tahun yang lalu, tepatnya 2 Januari 1492 M Kota Granada, tempat dibangunnya Istana AlHambra sekaligus benteng terakhir umat Islam jatuh dan jatuh ke tangan aliansi Kristen Eropa setelah berada di bawah kekuasaan Islam selama 6 abad.


Alhambra adalah nama kompleks istana sekaligus benteng megah peninggalan Kekhalifahan Bani Umayyah Kedua di Granada, Spanyol bagian selatan. Kawasan ini dikenal dengan nama Al-Andalus ketika benteng ini didirikan yang meliputi kawasan perbukitan di batas kota Granada.


Istana ini dibangun sebagai tempat tinggal khalifah dan para penguasanya. Pada tahun 1984, gedung Alhambra ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Islam mulai masuk ke semenanjung Iberia Spanyol dan Portugal saat ini sejak misi pembebasan yang dipimpin oleh Tariq bin Ziyad pada tahun 771 M.


Sejak saat itulah Spanyol dan daratan Eropa mulai diterangi cahaya ilmu pengetahuan dan peradaban Islam hingga 7 abad berikutnya. Pada tahun 900an M, Islam mencapai puncak kejayaannya. Lebih dari 5 juta umat Islam tinggal di wilayah tersebut dengan persentase mencapai 80% dari jumlah penduduk.


Kerajaan kuat pada masa itu, Dinasti Umayah II menjadi penguasa tunggal di wilayah tersebut dan menjadi kerajaan paling maju dan stabil di daratan Eropa. Banyak ilmuwan muslim yang lahir dari kota ini, sehingga Cordova disebut Madinatul Ilmi, kota ilmu pengetahuan.


Misalnya Ibnu Rusyd, filosof dan Mohammed Al-Ghafiqi Al-Ghafiqi, salah satu pendiri oftalmologi di seluruh dunia, yang meninggal di Cordova pada tahun 1165. Beliau adalah seorang ahli bedah medis, dengan spesialisasi penyakit mata dan iris. Dia menulis salah satu referensi terpenting dalam sejarah oftalmologi yang dia sebut sebagai “Panduan Dokter Mata.”


Belum pada ilmu agama Islam. Kontribusi para ulama Cordoba terhadap pengembangan ilmu agama Islam begitu kuat. Misalnya al-Qurthubi dengan tafsirnya dan Ibnu Malik dengan karya monumentalnya, Alfiyah Ibnu Malik Kitab Alfiyah Ibnu Malik, sudah menjadi kajian wajib di seluruh pesantren di Indonesia.


Seperti apa penelitian di Cordova? Gustave Le Bon, seorang ilmuwan sosial dan filsuf Perancis yang meninggal pada tahun 1932, menggambarkan Cordoba jika bangsa Arab berhasil menaklukkan Perancis, Paris pasti akan menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan seperti Cordova, orang-orang jalanan di Cordoba sudah terbiasa membaca, menulis dan mengarang. puisi


Di saat raja-raja Eropa masih belum bisa menuliskan nama mereka sendiri. Pernyataan Gustave, sudah lebih dari cukup bagaimana ilmu pengetahuan tumbuh di Cordova. Namun masa keemasan sosial dan politik ini tidak berlangsung selamanya. Pada tahun 1000-an M, kerajaan ini runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil yang dikenal dengan istilah muluukut-thawa'if.


Negara-negara kecil tersebut mempunyai kepentingan masing-masing untuk mulai meninggalkan ukhuwah Islam dan melakukan berbagai bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Pada saat yang sama, musuh yang selalu menantikan kelemahan umat Islam mulai mengkonsolidasikan kekuatannya. Mereka dipersatukan dengan berbagai perbedaan dan gangguan internal.


Mereka melakukan penyerangan terhadap negara-negara Islam yang mempunyai otonomi masing-masing. Satu demi satu kota dan kerajaan yang dibangun Islam jatuh ke tangan musuh. Hingga akhirnya pada tahun 1240an M, hanya tersisa satu kerajaan Islam di benua biru


Di ujung selatan tanah Andalusia yaitu Kerajaan Granada dan kerajaan ini jatuh sepenuhnya ke tangan musuh, setelah mereka berhasil memanfaatkan pangeran Granada untuk mengkhianati keluarga dan saudara-saudaranya. Demi kedudukan dan kekuasaan, ia tidak memikirkan nasib umat Islam.


Sang pangeran memang menjadi raja baru, namun tidak butuh waktu lama. Pada tahun 1491 M, Granada dikepung oleh pasukan Ferdinand dan istrinya Isabella, dan sang pangeran terpaksa menyerahkan kerajaannya. Tepat tanggal 2 Januari 1492, Granada jatuh, sang pangeran diasingkan, dan dua tahun kemudian terjadi pembantaian besar-besaran.


Umat ​​Islam hanya diberikan dua pilihan: murtad atau mati. Sebenarnya saat itu masih ada seorang panglima perang tangguh bernama Musa bin Ghassan yang terus melakukan perlawanan. Seruan populernya, “Menjadi syahid di bawah reruntuhan tembok Granada lebih mulia daripada hidup di bawah penindasan kaum kafir.


Meski pasukannya sedikit, ia langsung menyapa musuh dengan pekikan takbir. Musa bin Abi Ghassan berusaha mempertahankan benteng terakhir Islam di Andalusia. Melawan setiap jengkal Tanah. air, Granada. Secara sporadis mereka melakukan perlawanan. Sesekali menang, tapi lebih sering kalah.


Hingga pada pertempuran terakhir, Musa bin Abi Ghassan dan pasukannya terdesak hingga ke tepi jurang yang di bawahnya terdapat laut. Tak ada pilihan lain, selain tawanan dan murtad, lebih mulia mati syahid. Di hari-hari terakhir perjuangannya disebutkan: adalah


Bukan kekuatan pasukan Isabel dan Ferdinand yang menjadi beban terberat yang harus ia hadapi. Namun lemahnya sikap Sultan Abu Abdillah Muhammad XII dari jeratan pejabat disekitarnya menjadi unsur kekalahan terbesar dalam mempertahankan Granada.


Pemimpin yang lemah ini terus-menerus dirusak dengan bujukan halus, tipu muslihat, hingga jebakan para pejabat istana. Mereka meyakinkan sultan bahwa menyerahkan Granada adalah langkah terbaik untuk menyelamatkan rakyat yang tersisa. Mereka yakin bahwa mereka telah mendapatkan jaminan dari Isabel dan Ferdinand


Agar umat Islam di Granada dapat hidup dan memeluk agamanya tanpa diganggu. Salah satu perunding perjanjian tersebut adalah seorang menteri bernama Ibnu Kamasyah. Secara agresif ia terus menekan sultan.


Sejarah mencatat, menteri ini akhirnya murtad demi posisi yang dibujuk Isabel dan Ferdinand Sultan untuk diberikan oleh Isabel dan Ferdinand Sultan yang pada dasarnya lemah, semakin parah karena jauh dari ulama. mujahid seperti Panglima Musa bin Abi Ghassan.


Hingga terjadilah tragedi memilukan yang membuatnya dikenang sebagai seorang pecundang. Dia menyerahkan kunci gerbang kota Granada dengan tangannya sendiri kepada Isabel dan Ferdinand. Berita itu segera menyebar. Pada hari yang sama, Eropa sedang berpesta.


Salib besar berbahan perak itu pun langsung ditanam di istana Al Hambra. Sultan dan keluarganya diusir dari istana. Bukan tidak mungkin ceritanya akan berbeda jika pemimpin terakhir Granada adalah seorang sultan yang kuat


Dikelilingi para ulama yang terus meniupkan semangat jihad. Mungkin kita tidak perlu menyaksikan tragedi memilukan itu. Tragedi Andalusia menjadi pelajaran berharga. Pemimpin yang lemah terbukti membawa kehancuran. Islam tidak akan hilang dari muka bumi.


Namun, tidak ada jaminan bahwa Islam tidak akan terhapus dari negara dengan populasi Muslim terbesar tersebut. Sejarah Spanyol, sejarah Andalusia, sejarah Granada memberikan banyak pelajaran penting bagi kita semua khususnya bahwa: Bersatu Kita Kuat, Bercerai Kita Runtuh.

Next Post Previous Post